Qur’an, Rima dan Rap

Brother Ali

Kualitas puitis Al-Quran dipandang dari sebuah buku hip-hop.

PADA zaman ketika sebagian orang mengaku ahli tafsir, mungkin sebagian dari kita lupa sewaktu malaikat Jibril dikisahkan merengkuh Muhammad sedemikian erat pada satu malam 1.400 tahun lalu, yang mengalir darinya adalah satu sajak simetris:

Iqra bismi rabbikal ladhi khalaq/ Khalaqal insaana min ‘alaq/ Iqra wa rabbukal akram/ Al ladzii ‘allama bil qalam/ ‘Al lamal insaana ma lam ya’lam.

Dalam Discovering the Qur’an (1996), Neal Robinson, pakar studi Islam dari Universitas Leeds, menjelaskan mengapa sajak itu istimewa. Dengan menghitung unit isokronik pada masing-masing larik, ada refleksi ritmis dari larik pertama dengan larik kelima, dan larik keempat dengan larik kedua. Sementara larik ketiga jadi penyeimbang.

Tak hanya itu. Kata terakhir antara larik satu dan dua serta larik empat dan lima juga punya tautan makna. Khalaq, artinya “menciptakan”, berhubungan dengan ’alaq (segumpal darah). Sementara qalam (pena) bertaut dengan ya’lam (mengetahui). Robinson mengaitkan bahwa segumpal darah adalah muasal dari penciptaan manusia, sementara pena adalah medium pengantar pengetahuan.

Permainan kata, rima, makna, dan ritme sejenis, menurut Robinson, terserak dalam sekujur ayat al-Quran, dan masing-masing menyimpan keunikan sendiri-sendiri.

Ada juga misalnya sajak-sajak dengan rima “rusak”—maksudnya, susunan dan strukturnya dari permukaan terbaca inkoheren. Tapi, menurut Robinson, rima-rima liar macam ini dibuat dengan tujuan tertentu. Saya menemukan satu contohnya pada surat Alma’idah ayat 45:

Wa katabnaa ‘alaihim/ fihaaa annan nafsa binnafsi/ wal ‘aina bil ‘aini/ wal anfa bil anfi/ wal uzuna bil uzuni/ wassinna bissinni/ waljurooha qisaas; faman tasaddaqa bihii fahuwa kaffaaratullah; wa mal lam yahkum bimaaa anzalal laahu fa ulaaa’ika humudhalimuun.

Seluruh larik berima itu menyinggung aturan yang telah ditetapkan Tuhan kepada Bangsa Yahudi: “Nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka.” Kemudian, terselip larik yang melepaskan diri dari rima untuk memberi penegasan bahwa “siapa yang melepaskan hak qisasnya, baginya hal itu adalah penebusan dosa.”

Yang ingin dibilang Robinson, struktur sastrawi al-Quran sepenuhnya terencana. Sajaknya, juga prosanya, bukan sekadar dekorasi atau bebungaan semata.

Tak ada yang tahu pasti mengapa al-Quran ditulis (atau diwahyukan, bagi yang percaya) dengan struktur sajak serta prosa dalam bahasa Arab yang sedemikian rumit dan canggih. Sebagian teori yang beredar agar ia mudah dihafal, atau supaya ia tak mudah diselewengkan.

Lewat struktur rima dalam al-Quran macam itu, saya ingin menelisiknya lewat sebuah buku yang membicarakan musik hip-hop. Judulnya, Book of Rhymes: The Poetics of Hip Hop (2009), ditulis Adam Bradley, sarjana budaya kulit hitam Amerika Serikat, yang menjelaskan makna-makna dan evolusi puitis dari lagu-lagu rap.

Musik rap adalah subkultur gerakan hip-hop yang muncul di New York pada akhir 1970-an. Semula cara disk jockey membangkitkan massa dalam pesta-pesta jalanan, lambat laun ia jadi seni mengisi beat yang dibentuk dari petikan sampel lagu-lagu populer lain dengan repetan-repetan ritmik dan berima.

Sejumlah sejarawan, termasuk Bradley, sepakat bahwa budaya berpantun kulit hitam Amerika Serikat bermula dari komunitas budak asal Afrika Barat, wilayah yang juga dihuni Muslim Afrika.

Seperti tradisi pantun yang tersebar di Nusantara, budaya yang menekankan pada seni cakap ini biasanya melibatkan dua pihak yang coba membungkam lawan main dengan sajak-sajak yang lebih cerdas. Dalam musik rap, para rapper berlomba-lomba menciptakan inovasi-inovasi rima dan ritme dalam lirik-lirik mereka. Ujung-ujungnya, rap saat ini punya banyak sekali amunisi puitis.

Awalnya lirik lagu rap hanya berima pada akhir larik. Dirasa kurang menantang, para rapper yang lebih canggih menaruh kata-kata berima dalam tubuh larik. Teknik itu dalam rap dikenal sebagai ‘internal rhyme’. Para rapper juga menambah rumit susunan lirik dengan menerapkan apa yang disebut ‘multisyllabic rhyme’. Bradley mencontohkan potongan lirik dalam lagu ‘Dumb It Down’ gubahan Wasalu Muhammad alias Lupe Fiasco:

I’m FEARLESS, now HEAR THIS. I’m EARLESS and I’m PEERLESS, which means I’m EYELESS, which means I’m TEARLESS, which means MY IRIS resides where my EAR IS, which means I’m blinded.

Kendati terdengar cerdas, Bradley menyinggung bahwa teknik serupa jarang sekali digunakan dalam lagu-lagu rap yang lebih komersial. Bukan kebetulan bahwa Wasalu memakai teknik itu dalam lagu yang berisi ejekan untuk para rapper komersial yang diwajibkan membuat lirik “bodoh” agar lebih menjual.

Bradley menilai, rima dalam rima seperti itu membuat lirik serta isinya terlalu menarik perhatian. Ia menjauhkan pendengar dari hentakan-hentakan lagu, hook, nada, atau elemen-elemen lagu lain yang bisa dijual.

Dalam sejumlah persentuhan, ayat-ayat al-Quran juga mengandung rima dalam rima. Surat al-Baqarah ayat 12 misalnya, ada tarikan rima “Summun, bukmun, ‘umyun fahum layarji’un.” Penerapan rima internal yang digabungkan rima multisuku kata muncul dalam al-Baqarah ayat 286:

RabbaNA la tuakhidzNA innasiiNA aw akhta’NA/ RabbaNA wa la tahmil ‘alayNA isrankama hamaltahu ‘alalladziNA minqabliNA/ RabbaNA wala tuhammilNA ma la taqata laNA bihi/ Wa’fu’anNA waghfirlaNA warhamNA anta mawlaNA fansurNA ‘alaalqawmi alkafirin.

Penggunaan teknik itu punya efek serupa dari apa yang diharapkan dalam lirik lagu rap. Mau pakai langgam Jawa atau langgam Auckland; mau keluar dari rekaman tape lewat pengeras suara bodong mushala atau dari mulut Haji Muammar ZA—larik “wa’fu’anna waghfirlana warhamna anta mawlana” tetap jadi pusat perhatian.

Teknik lain dari penulisan lirik rap yang bisa menerangkan tujuan rima dalam al-Quran adalah rima berantai. Ini adalah larik-larik dengan repetisi rima yang seragam, biasanya ditempuh lewat sekuensi panjang, yang terus membangun momentum. Efek yang diharapkan dari teknik ini merayu pendengar menuju titik puncak guna memasuki semacam kondisi yang hampir menyamai kerasukan.

Banyak surat dalam al-Quran menggunakan taktik itu. Salah satunya, yang bagi saya begitu sangkil, adalah Attakwir:

Idza alshshamsu kuwwirat/ Waidza alnnujuumu inkadarat/ Waidza aljibalu suyyirat/ Waidza al’isharu ‘uttilat/ Waidza alwuhooshu hushirat/ Waidza albiharu sujjirat/ Waidza alnnufoosu zuwwijat/

(Apabila matahari digulung/ dan apabila bintang-bintang berjatuhan/ dan apabila gunung-gunung dihancurkan/ dan apabila unta-unta bunting ditinggalkan/ dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan/ dan apabila lautan dipanaskan/ dan apabila ruh-ruh dipertemukan…)

Rima dan aliterasi itu terus berulang pada 14 ayat/larik awal surat, memiliki pola seragam yang membangun tensi sejenis kresendo hingga akhirnya ditutup dengan:

Waidza alssamau kushitat/ Waidza aljahiimu su’irat/ Waidza aljannatu uzlifat/ ‘Alimat nafsun ma ahdarat.

(dan apabila langit dilenyapkan/ dan apabila neraka Jahim dinyalakan/ dan apabila surga didekatkan/ maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.)

Jika saat ini saja surat itu bisa menggetarkan, Anda bisa bayangkan bagaimana efeknya saat ia dibacakan kepada suku-suku Arab, 14 abad silam.

Dalam lirik-lirik lagu rap, kata Bradley, ada juga teknik yang namanya ‘consonances’: penempatan huruf-huruf atau suku kata secara berulang di tengah-tengah larik. Biasanya, taktik ini dipakai rapper untuk menekankan pesan dan isi pada satu larik tertentu.

Ambil contoh salah satu larik lagu dari grup hip–hop Fugees berjudul ‘Zealots’: “Rap rejECTs my tape dECK, ejECTs proJECTILE/ Whether Jew or GenTILE, I rank top percenTILE.”

Contoh penggunaan teknik itu dalam ayat-ayat al-Quran juga tak sedikit. Di antaranya, “ALLAhu LA iLAha iLLA Huwa, AL-HaiYuL-QaiYum” (al-Baqarah, 255); “Lam YaLid wa Lam YuLad” (al-Ikhlas, 3); atau “iDZa ZulZilatil arDHu ZilZalaha” (al-Zalzalah, 1).

Secara berurutan, arti ayat-ayat itu, “Allah! Tiada tuhan selain Dia yang Hidup, Yang berdiri Sendiri, Abadi”; “(Allah) tak beranak dan tak diperanakkan”; dan “apabila bumi telah digoncangkan dengan dahsyat.” Seluruh ayat ini memiliki urgensi pesan masing-masing.

Menelaah korelasi antara teknik penulisan lirik lagu rap yang berkualitas dan ayat-ayat puitis al-Quran ini, tentu saja, bukan upaya meringkus (dan tak mungkin pula!) pada satu konklusi mengapa al-Quran ditulis sedemikian memikat. Yang ingin saya bilang, efek yang coba ditimbulkan teknik rima tertentu dalam musik rap, dalam tingkatan tertentu, bisa memberi gambaran soal efek yang coba ditimbulkan saat ayat al-Quran menggunakan teknik rima serupa. Bagi saya, ini adalah penjelajahan yang indah sekaligus misterius.

Mencoba mendekati cara membaca al-Quran seperti ini tentunya takkan menambah atau mengurangi pahala. Tapi, bagi saya, ia menegaskan betapa al-Quran adalah puisi berkualitas. Terlepas dari segolongan orang (dan sejarah terus berulang demikian!) memakai al-Quran sebagai (politik kutipan) pembenaran untuk tindakan-tindakan yang menyulut kekerasan.

Kualitas-kualitas puitis ini, seperti kata sejarawan Michael Sells dalam Approaching the Quran (1999), membuat al-Quran tak hanya berharga bagi Muslim. Atau seperti yang diungkapkan karakter Gordon Deitrich dalam film dan novel grafis V for Vendetta saat ditanya mengapa menyimpan al-Quran: “Saya tak perlu jadi seorang Muslim untuk menemukan keindahan gambarnya, dan tergerak oleh puisinya.”

Sebagaimana saya tak harus jadi Yahudi atau Nasrani untuk menikmati kisah-kisah ajaib dalam Perjanjian Lama. Sebagaimana kita tak harus jadi seorang Hindu untuk tenggelam dalam epos Baghavad Ghita.[]

 

Penulis: Fitriyan Zamzami

fitriyanzamzami.wordpress.com

ilustrasi: cover album Brother Ali (rapper Muslim Amerika)

Leave a comment